Skip to content Skip to footer

Pendekatan Jalur Publik untuk Transisi yang Adil di Sektor Kelistrikan Indonesia

Perjalanan menghadapi perubahan iklim tidak terjadi dalam sekejap, melainkan melalui rangkaian panjang konferensi yang membentuk konsensus global. Sejak tahun 1992, sudah dibentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai landasan hukum internasional untuk menanggulangi krisis iklim. Demikian Sekretaris Umum PP IP Andy Wijaya mengawali paparan dalam National Forum and Meeting Just Energy Transition Public Pathway di Jakarta, Selasa (19/8).

Andy menambakan, seja itu, pertemuan tahunan negara-negara anggota atau Conference of the Parties (COP) menjadi ruang penting dalam merumuskan langkah bersama. Beberapa momen penting yang lahir dari COP antara lain, pada tahun 1997 COP3 Kyoto disepakati Kyoto Protocol yang untuk pertama kalinya mengikat negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Tahun 2007 ada COP13 Bali menghasilkan Bali Road Map yang menjadi fondasi negosiasi global berikutnya.

Selanjutnya, pada 2009 ada COP15 Kopenhagen melahirkan kesepakatan jangka panjang tentang aksi iklim. 2015 pada COP21 Paris lahir Paris Agreement yang kini menjadi tonggak utama transisi energi global. Berlanjut di 2018 ada COP24 Katowice menetapkan aturan teknis pelaksanaan Paris Agreement. Dan tahun 2021 dalam COP26 Glasgow diadopsi Glasgow Climate Pact sebagai upaya memperkuat komitmen aksi iklim.

Sejarah konferensi iklim dan peta jalan transisi energi menunjukkan bahwa dunia memiliki arah yang jelas dalam menghadapi krisis iklim. Dari Kyoto Protocol hingga Glasgow Climate Pact, serta dari Paris Agreement hingga target Net Zero 2050, semua tahapan ini adalah bagian dari perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Transisi Energi = Gagal atau Ilusi?

Namun demikian, meski sudah ada kesepakatan global, data dari Global Carbon Project tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masuk ke dalam 10 negara penghasil emisi karbon terbesar dunia. Total emisi Indonesia tercatat sekitar 700 juta ton per tahun, sejajar dengan negara-negara seperti Jepang, Iran, Arab Saudi, dan Jerman.

Sementara itu, China menempati urutan pertama dengan emisi mencapai 11,4 miliar ton, disusul Amerika Serikat sebesar 5,1 miliar ton, serta India dan Uni Eropa masing-masing sekitar 2,8 miliar ton. Fakta bahwa Indonesia berada di peringkat sepuluh besar mengindikasikan bahwa kontribusinya terhadap emisi global cukup signifikan.

Setahun kemudian, pada 2023, data produksi karbon dioksida juga menegaskan dominasi negara-negara besar sebagai penyumbang utama emisi global. Grafik menunjukkan China, Amerika Serikat, India, Rusia, dan Jepang sebagai lima besar produsen CO₂. Secara keseluruhan, negara-negara besar ini menyumbang lebih dari 58% emisi global.

“Indonesia sendiri tetap tercatat dengan angka yang tinggi, berada dalam kelompok negara dengan produksi emisi di atas 600 juta ton CO₂. Angka ini mempertegas posisi Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia,” ujar Andy.

Tidak berlebihan jika kemudian kita mengatakan “Transisi Energi = Gagal/Ilusi???”. Meskipun transisi energi menjadi agenda global, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa tingkat emisi karbon justru masih sangat tinggi. Indonesia, yang seharusnya mulai mengurangi ketergantungan pada energi fosil, justru masuk daftar 10 besar dunia.

Menyikapi situasi ini, Serikat Pekerja Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia menebitkan Kertas Posisi yang diluncurkan pada 25 Juni 2025. Dokumen ini disusun untuk memberikan pandangan serikat pekerja terhadap arah transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia, dengan menekankan pendekatan jalur publik sesuai amanat Pasal 33.

Kertas posisi ini mengangkat tema “Skenario Pasal 33: Menuju Pendekatan Jalur Publik untuk Transisi yang Adil di Sektor Kelistrikan Indonesia” dan terdiri dari empat bagian pokok, yaitu: (1) Perluasan Energi Bukan Transisi Energi: Realitas Global dan Regional. Bagian ini mengulas fenomena di tingkat global maupun regional yang lebih menekankan pada perluasan energi ketimbang transisi yang sesungguhnya. (2) Privatisasi untuk Dekarbonisasi. Membahas bagaimana upaya dekarbonisasi seringkali berjalan bersamaan dengan proses privatisasi sektor energi. (3) Blended Finance. Menyoroti penggunaan skema pembiayaan campuran (blended finance) yang kerap menjadi instrumen utama dalam proyek transisi energi. (4) Skenario Pasal 33: Menuju Alternatif Jalur Publik. Menggagas alternatif jalur publik sesuai Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar untuk memastikan transisi energi yang adil di Indonesia.

Ekspansi Energi, Bukan Transisi

Narasi resmi mengenai transisi energi kerap menggambarkan dunia tengah bergerak menuju masa depan hijau yang bebas emisi. Namun, jika menilik data konsumsi energi dari tahun ke tahun, yang tampak justru bukan pergeseran menuju energi bersih, melainkan ekspansi besar-besaran di energi fosil.

Produksi energi terus naik seiring dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan hidup. Kasus batubara di Indonesia memperlihatkan ironi ini. Produksi nasional mengalami lonjakan signifikan: 506 juta ton, kemudian 614 juta ton, hingga lebih dari 687 juta ton dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pasokan yang digunakan untuk kebutuhan domestik, khususnya PLTU, sangat kecil, hanya sekitar 15,6% dari total produksi.

Dengan kata lain, meskipun ada wacana pensiun dini PLTU, mayoritas batubara tetap dijual ke luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa penghentian PLTU di dalam negeri tidak otomatis menurunkan produksi maupun konsumsi global batubara. Fakta ini memperkuat Kesimpulan, bahwa transisi energi Indonesia bukanlah pengurangan konsumsi energi kotor, melainkan ekspansi energi dalam segala bentuknya.

Gambaran global juga tidak jauh berbeda. Dari dari World Primary Energy Demand in the Reference Scenario menunjukkan bahwa permintaan energi primer dunia meningkat tajam sejak 1990 hingga 2030. Peningkatan ini terjadi hampir di semua jenis energi—minyak, batubara, gas, biomassa, nuklir, hidro, dan energi terbarukan lainnya. Permintaan energi global naik 45% dalam kurun waktu hingga 2030, dengan batubara menyumbang lebih dari sepertiga kenaikan tersebut. Artinya, bahkan di tengah komitmen transisi, batubara tetap menjadi tulang punggung energi dunia.

“Dari data yang ada, terlihat jelas bahwa meskipun energi terbarukan menunjukkan peningkatan signifikan, energi fosil pun tetap meroket. Catatan ini menggambarkan inti masalah. Di mana bertambahnya kapasitas energi bersih tidak serta-merta menurunkan penggunaan energi kotor, melainkan justru menambah total konsumsi energi dunia,” tegas Andy.

Data spesifik di Indonesia semakin memperjelas kesenjangan antara produksi dan konsumsi domestik. Produksi Batubara Nasional 2020: 565.640.928 ton, 2021: 614.058.577 ton, 2022: 687.402.285 ton, 2023: 775.183.592 ton. Angka-angka ini menunjukkan kenaikan konsisten dari tahun ke tahun, dengan lonjakan terbesar pada 2023.

Sementara itu, pemakaian Batubara untuk PLTU di 2020: 26.774.744 ton (4,73%), 2021: 20.721.748 ton (3,37%), 2022: 11.834.422 ton (1,72%), 2023: 121.189.722 ton (15,63%). Selama 2020–2022, pemakaian batubara untuk PLTU relatif kecil dan cenderung menurun. Namun, pada 2023 terjadi lonjakan drastis, mencapai lebih dari 121 juta ton atau 15,63% dari total produksi.

Data ini menegaskan kesenjangan besar antara produksi batubara nasional dengan jumlah yang digunakan PLTU. Produksi terus meningkat, sementara konsumsi domestik bersifat fluktuatif dan proporsinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan total produksi.

Privatisasi dalam Balutan Dekarbonisasi

Transisi energi sering dipromosikan sebagai solusi global untuk mengatasi krisis iklim. Namun, dalam praktiknya, isu ini justru dimanfaatkan sebagai pintu masuk privatisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Data PLN menunjukkan tren yang cukup mengkhawatirkan: kapasitas pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) terus meningkat, sementara porsi pembangkit milik PLN justru menurun.

Pada 2019, kapasitas IPP hanya 32,4%. Enam tahun kemudian, angkanya naik menjadi lebih dari 38%. Sebaliknya, kapasitas PLN menyusut dari hampir 70% menjadi sekitar 61%. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2030, Indonesia menargetkan tambahan 69,5 gigawatt kapasitas listrik. Namun, hanya seperempatnya yang dikelola PLN, sementara sekitar 75% dikuasai swasta. Meski sebagian besar proyek ini diklaim berbasis energi terbarukan, kepemilikannya tetap jatuh ke tangan swasta.

Andy menganalogikan, PLN ibarat rumah makan Padang. Namun, lauk-pauk tidak lagi dimasak di dapurnya sendiri, melainkan dibeli dari vendor luar. Akibatnya, harga dan pasokan tidak sepenuhnya dikendalikan PLN, melainkan tunduk pada mekanisme kontrak swasta.

Jika kota bandingan pangsa pasar antara PLN Holding dan IPP dalam kapasitas terpasang serta penjualan listrik periode 2019–2024 memperlihatkan tren posisi PLN semakin melemah. Di Tahun 2019, kapasitas terpasang PLN 69,80% kemudian IPP&Rent 30,20%. Sementara itu, di tahun 2024, PLN 61,67% dan IPP&Rent 38,33%. Dalam lima tahun, kapasitas IPP meningkat hampir 8%, sementara PLN kehilangan porsi yang sama.

Sementara itu, penjualan listrik tahun 2019 PLN 68,81% dan IPP 31,19%, sedangkan di tahun 2024 untuk PLN 55,42% dan IPP 44,58%. Dominasi PLN dalam penjualan listrik merosot hampir 14% dalam lima tahun. Sebaliknya, IPP mendekati posisi 45%, menegaskan peran swasta yang semakin besar.

Blended Finance: Beban Utang dalam Transisi

Just Energy Transition Partnership (JETP) digadang-gadang sebagai terobosan pendanaan untuk mendorong transisi energi di Indonesia. Melalui kesepakatan ini, Indonesia dijanjikan dana sebesar Rp300 triliun atau sekitar USD 20 miliar. Namun, euforia terhadap angka besar tersebut segera memudar setelah terungkap bahwa mayoritas dana bukanlah hibah, melainkan pinjaman berbunga tinggi dengan berbagai skema: konsesi jaminan Bank Dunia, hingga pinjaman komersial.

Padahal, kebutuhan pembiayaan transisi energi Indonesia jauh lebih besar, yakni mencapai lebih dari Rp2.000 triliun. Artinya, dana JETP hanyalah sebagian kecil, bahkan berpotensi menjadi beban baru karena skema pinjaman yang mahal. Alih-alih meringankan, rakyat berpotensi menanggung biaya tambahan dari bunga utang, sementara keuntungan tetap mengalir kepada sektor swasta dan lembaga keuangan internasional.

Isu ini semakin ramai setelah pernyataan Hashim S. Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi. Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia (3 Februari 2025), ia menilai JETP gagal memenuhi harapan. Hashim menegaskan, dari total komitmen USD 20 miliar, sebagian besar ternyata berbentuk pinjaman berbunga tinggi, bukan hibah sebagaimana dibayangkan publik.

Menurutnya, hal ini membuat program JETP lebih menyerupai jebakan utang ketimbang bantuan. Transisi energi yang semestinya menjadi upaya penyelamatan lingkungan justru berubah menjadi proyek yang mahal dan membebani fiskal Indonesia. Kritik ini menguatkan pandangan bahwa skema blended finance lebih menguntungkan pemberi pinjaman ketimbang negara penerima.

Namun, pandangan berbeda datang dari Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagaimana dilaporkan Tempo. IESR menilai pernyataan Hashim tidak sepenuhnya tepat. Menurut mereka, JETP memang sejak awal tidak dirancang sebagai bantuan tunai, melainkan dalam bentuk blended finance—kombinasi hibah, pinjaman lunak, serta dukungan investasi.

Dengan kata lain, kegagalan JETP bukanlah karena “tidak ada dana”, melainkan karena ekspektasi yang tidak sesuai dengan mekanisme sebenarnya. IESR juga menekankan bahwa blended finance bisa tetap bermanfaat jika dikelola dengan transparan dan diarahkan pada proyek-proyek strategis energi terbarukan.

Perbedaan pandangan ini memperlihatkan problem mendasar dalam skema pembiayaan transisi energi. Bagi pemerintah, pendanaan yang mahal berisiko memperburuk defisit dan membatasi ruang fiskal negara. Bagi masyarakat sipil, persoalannya adalah bagaimana memastikan bahwa dana transisi benar-benar digunakan untuk mendukung energi terbarukan, bukan sekadar memperkuat kepentingan swasta atau lembaga keuangan global.

Dengan kebutuhan lebih dari Rp2.000 triliun, jelas bahwa JETP bukan jawaban menyeluruh. Tanpa desain pembiayaan yang adil, transisi energi di Indonesia berpotensi menjadi ironi: agenda penyelamatan iklim berubah menjadi beban utang baru bagi negara berkembang.

Pasal 33 UUD 1945 dan Kedaulatan Energi

Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 33 UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara (ayat 2). Lebih lanjut, penguasaan itu wajib dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (ayat 3).

Sektor kelistrikan jelas masuk dalam kategori cabang produksi vital. Listrik bukan hanya soal energi, tetapi merupakan kebutuhan dasar yang menentukan keberlangsungan hidup masyarakat dan pembangunan ekonomi. Karena itu, pengelolaan listrik semestinya tunduk pada amanat konstitusi: dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mahkamah Konstitusi (MK) berulang kali menegaskan posisi konstitusional sektor kelistrikan. Setidaknya terdapat empat putusan penting: (1) Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003. Judicial Review atas UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. (2) Putusan MK No. 149/PUU-VII/2009. Judicial Review atas UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. (3) Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015. Judicial Review atas UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. (4) Putusan MK No. 39/PUU-XXI/2023. Judicial Review atas UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, khususnya pasal mengenai ketenagalistrikan.

Menurut Andi, keempat putusan MK ini konsisten. Listrik adalah sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Namun, praktik hari ini memperlihatkan arah yang berbeda. Dominasi IPP terus meningkat, sementara peran PLN makin menyusut. Akibatnya, penguasaan negara atas sektor kelistrikan makin melemah.

Kasus di Nias dan Bali menjadi pelajaran nyata. Di Nias, ketika pembangkit dikuasai sepenuhnya oleh swasta, negara kehilangan kendali. Ketika kontrak tidak diperpanjang sesuai permintaan swasta, operasional pembangkit dihentikan, bahkan infrastruktur rusak sehingga tidak bisa diambil alih PLN. Dampaknya, rakyat menanggung risiko pemadaman listrik.

Di Bali, kasus serupa terjadi ketika pembangkit swasta melakukan perawatan. Karena skema kontrak tidak mewajibkan pembayaran ketika pembangkit berhenti produksi, swasta bebas menghentikan pasokan. PLN tidak punya kendali penuh, dan masyarakat merasakan risiko pemadaman. Kedua kasus ini menegaskan bahwa ketergantungan pada swasta bertentangan dengan semangat kedaulatan energi.

Transisi energi di Indonesia hari ini lebih menyerupai ekspansi energi dengan beban privatisasi dan utang. Rakyat tidak hanya menghadapi ancaman krisis iklim, tetapi juga risiko harga listrik yang mahal, ketergantungan pada swasta, dan hilangnya kedaulatan negara di sektor strategis.

Karena itu, jalan transisi energi harus kembali ke konstitusi. Energi adalah hak rakyat dan wajib dikuasai negara. Transisi yang adil bukan hanya soal teknologi hijau, tetapi juga tentang memastikan listrik terjangkau, berkeadilan, dan tidak meninggalkan rakyat di bawah bayang-bayang privatisasi.

Serikat pekerja menegaskan tiga prinsip utama dalam menempatkan transisi energi di sektor kelistrikan. Pertama, dikuasai oleh Negara. Sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, listrik adalah cabang produksi vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, negara wajib memegang kendali penuh dalam pengelolaannya. Penyerahan penguasaan kepada swasta hanya akan melemahkan kedaulatan energi dan menimbulkan risiko ketergantungan.

Kedua, memastikan harga listrik terjangkau. Listrik adalah kebutuhan dasar, bukan barang mewah. Negara harus menjamin akses listrik yang merata dengan harga yang adil dan terjangkau bagi seluruh rakyat. Jika listrik sepenuhnya dikelola dengan logika pasar, maka yang terjadi adalah lonjakan tarif yang membebani masyarakat kelas pekerja.

Ketiga, aman bagi pelanggan dan lingkungan. Transisi energi harus menjawab dua aspek sekaligus: keberlanjutan lingkungan dan keselamatan pelanggan. Sumber energi bersih memang penting, tetapi keamanan pasokan dan perlindungan konsumen tidak boleh diabaikan.

Menolak Lupa: Pelajaran dari Krisis Listrik Nias

Sejarah kelistrikan Indonesia menyimpan pelajaran berharga, salah satunya dari krisis listrik yang melanda Pulau Nias, Sumatera Utara. Potongan berbagai pemberitaan media menegaskan betapa pahitnya pengalaman masyarakat ketika akses listrik terganggu.

Pulau Nias Gelap Gulita. Pemadaman panjang membuat masyarakat hidup tanpa listrik hingga 24 jam. Anak-anak belajar dengan lilin, aktivitas rumah tangga lumpuh, dan kehidupan sehari-hari penuh kesulitan.

Pemadaman Mencapai 12 Hari Bupati Nias saat itu, Sokhiatulo Laoli, bahkan menyampaikan kekecewaan karena janji perbaikan dari PLN tidak kunjung terpenuhi. Masyarakat resah, pemerintah daerah frustrasi.

Sementara itu, Pemerintah pusat menyebut kerusakan PLTD dan keterbatasan kapasitas jaringan sebagai penyebab utama. Namun, persoalan mendasar adalah lemahnya infrastruktur dan kurangnya penguasaan negara yang kuat di daerah.

Krisis listrik Nias menjadi pengingat keras, ketika negara gagal memastikan kedaulatan energi, rakyatlah yang pertama dan paling menderita. Dengan tajuk “Menolak Lupa!!!”, serikat pekerja menegaskan bahwa pengalaman semacam ini tidak boleh terulang dalam era transisi energi.

Karena itu kelas, transisi energi bukan sekadar proyek dekarbonisasi. Ia adalah momentum untuk memastikan sektor listrik dikelola berdasarkan konstitusi, berpihak pada rakyat, dan bebas dari dominasi pasar.

Kertas posisi ini menegaskan tiga hal. Pertama, listrik wajib dikuasai negara. Kedua, harga listrik harus adil dan terjangkau. Ketiga, pasokan listrik harus aman bagi rakyat dan lingkungan.

Dengan menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai pijakan, transisi energi dapat ditempatkan dalam jalur publik. Inilah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa transformasi menuju energi bersih benar-benar menjadi transisi yang adil—bukan sekadar proyek bisnis, melainkan bagian dari perjuangan mewujudkan kemakmuran rakyat dan menjaga martabat bangsa.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Public Services International - Indonesia Project

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca