Skip to content Skip to footer

Mendorong Transisi Energi yang Adil dan Inklusif: Jalur Publik menuju Keadilandan Keberlanjutan

Pertemuan jaringan yang diselenggarakan Public Services International (PSI) pada 10 Desember 2025 di Hotel Aryaduta Jakarta menjadi momentum penting ketika serikat pekerja lintas sektor di Indonesia berkumpul untuk membahas arah transisi energi yang lebih adil dan inklusif. Di tengah tekanan global yang mendorong model transisi berbasis pasar dan dominasi perusahaan multinasional, serikat pekerja menegaskan bahwa masa depan energi Indonesia tidak boleh ditentukan oleh kepentingan modal, tetapi oleh kebutuhan rakyat dan amanat konstitusi.

Dalam sambutan pembukaan, Sekretaris PSI Subregional Asia Tenggara, Ian Mariano, memberikan penegasan yang menggugah bahwa serikat pekerja Indonesia selama ini berdiri di garis depan mempertahankan layanan publik dari ancaman privatisasi. Ia menyatakan bahwa afiliasi PSI di Indonesia adalah kekuatan yang “sudah bertahun-tahun berdiri di garis depan menjaga layanan publik,” seraya menekankan bahwa perjuangan ini bukan sekadar perlawanan teknokratis terhadap kebijakan, melainkan upaya memastikan bahwa rakyat tetap memiliki akses terhadap energi yang aman, terjangkau, dan demokratis.

Ian juga menekankan bahwa Indonesia memiliki legitimasi kuat untuk menolak skema transisi energi yang hanya mengandalkan pembiayaan sektor swasta. Serikat pekerja, melalui riset dan inisiatifnya, telah menyiapkan alternatif yang lebih sesuai dengan mandat konstitusi.

“Kita bahkan telah memiliki kertas posisi transisi energi jalur publik sebagai alternatif atas JETP. Ini adalah bagian dari strategi untuk memastikan rakyat kembali berdaulat atas energi,” tegas Ian.

Diskusi sesi pertama kemudian membuka gambaran besar mengenai biaya transisi energi Indonesia dan siapa yang menentukan arah pembiayaannya. Selama ini Sekretariat JETP mempromosikan narasi bahwa satu-satunya cara membiayai transisi energi adalah melalui privatisasi, deregulasi, dan penciptaan “lingkungan yang mendukung sektor swasta”. Di bawah konsep tersebut, peran negara direduksi menjadi fasilitator pasar, sementara pembiayaan publik dianggap tidak realistis. Kontras dengan itu, serikat pekerja PLN melalui Skenario Pasal 33 mempertanyakan asumsi dasar JETP, termasuk estimasi biaya US$97 miliar yang dinilai tidak transparan dan berpotensi menjadi alasan untuk meliberalisasi sektor energi.

Membuka diskusi sesi pertama, Salsabila dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi menguraikan bagaimana pasar global dan perdagangan internasional membentuk lanskap transisi energi. Ia menyoroti bahwa liberalisasi pasar, perdagangan karbon, dan ketergantungan pada impor teknologi sering kali menciptakan bentuk baru kolonialisme energi yang menguntungkan perusahaan besar dan negara maju. Sementara itu, ruang bagi industri domestik dan kesejahteraan rakyat justru menyempit. Menurutnya, tanpa intervensi negara dan pendekatan jalur publik, transisi energi dapat berubah menjadi proyek ekonomi neoliberal yang memperluas ketimpangan dan menyingkirkan kelompok rentan.

Analisis kritis dari Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, memperkuat argumen tersebut. Bhima mengulas skema Danantara dan instrumen pembiayaan hijau lain yang dipromosikan melalui JETP, yang menurutnya dapat menyeret Indonesia ke dalam siklus utang baru. Ia memperingatkan bahwa ketergantungan pada investor luar negeri bukan hanya berisiko terhadap stabilitas ekonomi, tetapi juga membuka jalan bagi privatisasi.

Dalam menyampaikan kritiknya, Bhima menekankan adanya ketidakadilan historis yang tidak boleh diabaikan: “Kita harus sadar bahwa transisi energi tidak boleh menjadi pintu masuk utang baru. Ada hutang ekologis negara maju yang belum pernah dibayar. Tidak adil jika mereka menyebabkan krisis iklim, tetapi justru menagih bunga kepada negara berkembang melalui skema pinjaman energi bersih.” Kritiknya ini memberikan perspektif penting mengenai bagaimana transisi energi tidak bisa dipandang terpisah dari struktur ekonomi-politik global.

Dalam paparannya, Sean Sweeney dari Trade Unions for Energy Democracy (TUED) menguraikan mengapa pembiayaan publik bukan hanya mungkin, tetapi lebih masuk akal bagi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa mekanisme pasar—entah itu investasi swasta, utang internasional, atau perdagangan karbon—tidak pernah stabil dan cenderung mengikuti logika profit, bukan kebutuhan rakyat. Menurutnya, pembiayaan publik memberikan ruang perencanaan jangka panjang, menghindarkan PLN dari tekanan komersialisasi, dan memungkinkan negara menyusun transisi tanpa memicu PHK massal atau kenaikan tarif listrik. Ia menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme yang sama yang turut menciptakan krisis itu. Logika keuntungan bertentangan dengan mandat untuk menyediakan layanan publik yang aman dan merata.

Sesi kedua memperdalam dimensi sosial dari transisi energi dan mengingatkan bahwa pergeseran menuju energi bersih tidak serta merta menciptakan keadilan. Bila transisi digerakkan semata oleh pasar, kebutuhan kelompok rentan dapat terabaikan, memunculkan ketimpangan sosial-ekonomi baru. Sulistiono dari FSP KEP–SPSI menegaskan realitas ini ketika menjelaskan posisi pekerja tambang yang berada di garis depan dampak transisi. Penutupan tambang tanpa perlindungan sosial, tanpa program peningkatan keterampilan yang memadai, dan tanpa jaminan pekerjaan baru berpotensi menciptakan gelombang pengangguran besar. Ia mengingatkan bahwa pekerja yang selama puluhan tahun menopang pasokan energi nasional tidak boleh dibiarkan menanggung dampak transisi sendirian.

Pandangan tersebut diperkuat oleh Tuti Suwartini dari FSP FARKES R, yang menempatkan transisi energi dalam perspektif hak asasi manusia. Ia menekankan bahwa energi adalah hak dasar, sehingga ketimpangan akses energi merupakan bentuk ketidakadilan struktural. Menurutnya, kelompok perempuan, masyarakat adat, dan komunitas terpencil sering kali paling terdampak ketika kebijakan energi dirancang tanpa partisipasi yang bermakna. Jika transisi energi tidak mengakui dimensi HAM ini, maka ia gagal mencapai tujuan keadilannya.

Sementara itu, Irma Rahmawati dari SP PLN menutup sesi dengan menegaskan bagaimana jalur publik menjadi satu-satunya cara untuk memastikan layanan energi yang merata dan berkualitas. Irma menguraikan bahwa PLN memiliki mandat untuk melayani, bukan mencari keuntungan. Jika jaringan energi diprivatisasi atau dipecah untuk mengikuti logika pasar, ketimpangan antarwilayah dapat semakin tajam. Dalam pandangannya, hanya pendekatan publik yang memungkinkan adanya pengawasan demokratis serta jaminan bahwa setiap warga negara—dari kota besar hingga daerah terpencil—mendapatkan hak yang sama atas energi.

Pertemuan ditutup dengan refleksi dari Ian Mariano yang kembali mengingatkan bahwa transisi energi adalah persoalan politik. Ia menekankan bahwa pertanyaannya bukan sekadar bagaimana membangun pembangkit energi bersih, tetapi siapa yang mengendalikan energi dan untuk kepentingan siapa transisi itu dilakukan. Melalui pertemuan ini, menjadi jelas bahwa serikat pekerja di Indonesia tidak hanya menolak model transisi neoliberal, tetapi juga membawa alternatif yang kuat—transisi energi jalur publik yang berbasis kedaulatan rakyat, kontrol demokratis, dan keadilan sosial. Pertemuan ini memperkuat posisi serikat pekerja sebagai aktor kunci dalam perjuangan menuju masa depan energi Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Public Services International - Indonesia Project

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca