Skip to content Skip to footer

Membangun Transisi Energi Jalur Publik, Serikat Pekerja Ketenagalistrikan Tingkatkan Kesadaran dan Pengetahuan Terkait Transisi Energi yang Adil

SP PLN, PP-IP, dan SPNP yang merupakan tiga serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan yang berafiliasi dengan Public Services International (PSI) menggelar kegiatan bertajuk “Capacity Building and Awareness Program to Improve the Knowledge and Skills of the Members and Leaders to the Just Energy Transition” pada 16 September 2025 di Surabaya, Jawa Timur. Acara ini diikuti oleh 45 pemimpin serikat dan anggota aktif dari ketiga serikat, dengan fasilitator Sean Sweeney dari Trade Unions for Energy Democracy (TUED).

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari peluncuran kertas posisi Energi Transisi Jalur Publik (Article 33 Scenario) pada 25 Juni 2025 di Jakarta. Peluncuran kertas posisi tersebut menjadi langkah awal advokasi serikat dalam mendorong penerapan pendekatan Public Pathway, yang menempatkan transisi energi di bawah kendali publik demi keadilan sosial dan keberlanjutan.

Dengan jumlah anggota mencapai 36.548 orang dan tersebar luas di seluruh Indonesia, ketiga serikat pekerja ini menyadari bahwa penguatan kapasitas menjadi kunci agar isu transisi energi dapat dipahami dan diarusutamakan di kalangan anggota. Workshop ini menjadi ruang untuk menghimpun masukan, memperkaya analisis, dan memperbaiki kertas posisi secara berkelanjutan.

Melalui kegiatan ini, para pemimpin dan anggota serikat diharapkan mampu memperkuat advokasi, memperluas kampanye di tingkat nasional dan regional, serta meningkatkan keterlibatan dalam aksi-aksi serikat untuk mewujudkan transisi energi yang adil.

Transisi energi yang adil adalah proses peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan yang dilakukan secara bertahap, terencana, dan menjamin perlindungan terhadap pekerja, masyarakat, serta kelompok rentan yang terdampak. Transisi ini lahir dari kesadaran akan krisis iklim yang semakin nyata, seperti kenaikan suhu bumi, bencana hidrometeorologi yang kian sering terjadi, serta meningkatnya emisi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Artinya, transisi energi bukan sekadar mengganti sumber energi, melainkan juga upaya mendesak untuk menekan emisi karbon demi mencegah kerusakan iklim yang lebih parah.

Dalam sesi yang difasilitasi oleh Kahar S. Cahyono, para peserta diajak memahami bahwa transisi energi bukan isu teknis semata, melainkan isu yang terkait erat dengan ketenagakerjaan. Pembangunan ekonomi hijau, dekarbonisasi industri, dan investasi energi bersih akan mengubah pasar kerja secara besar-besaran. Jika serikat pekerja bersikap pasif, maka perubahan itu akan dikendalikan sepenuhnya oleh pengusaha dan pemerintah tanpa suara pekerja.

Setelah pemaparan, peserta dibagi menjadi empat kelompok diskusi. Masing-masing kelompok membahas dua pertanyaan kunci, mengapa serikat pekerja harus ikut membahas isu transisi energi, dan apa yang dimaksud dengan transisi energi yang adil. Diskusi berjalan dinamis: ada yang menyoroti pentingnya mengantisipasi hilangnya pekerjaan di sektor energi fosil, ada yang menekankan perlunya pelatihan ulang bagi pekerja, dan ada pula yang menegaskan bahwa energi harus tetap dalam penguasaan negara agar berpihak pada kepentingan rakyat banyak.

Dalam sesi berikutnya, Sean memaparkan bahwa krisis keuangan Asia Timur 1997 menjadi titik balik besar bagi Indonesia. Di tengah kejatuhan rupiah dan runtuhnya kepercayaan pasar, International Monetary Fund (IMF) datang membawa paket structural adjustment dengan syarat ketat yang mengikat pinjaman darurat dengan kewajiban melakukan reformasi menyeluruh. Pesannya tegas: “No reforms? No finance!” — tak ada reformasi, tak ada dana talangan.

“Sektor ketenagalistrikan menjadi salah satu sasaran utama. Pemerintah dipaksa membuka pasar bagi investasi swasta, menandatangani kontrak dengan World Bank dan berbagai lembaga keuangan multilateral (MDB) yang menawarkan dukungan hukum, teknis, dan finansial bagi berdirinya Independent Power Producers (IPP). Dengan dalih efisiensi, negara diarahkan keluar dari peran penyedia langsung dan hanya menjadi regulator. Inilah fase awal liberalisasi dan privatisasi ketenagalistrikan Indonesia,” ujar Sean.

Dua dekade kemudian, garis kebijakan itu tak berubah—hanya kemasannya yang berganti. Dari narasi structural adjustment menjadi green growth. World Bank mendorong “standard model” privatisasi, memecah perusahaan listrik negara, mengundang swasta, dan menciptakan pasar listrik kompetitif. Meski diklaim sebagai solusi untuk mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan, pola dasarnya tetap sama: ketergantungan pada investasi swasta dan mekanisme pasar.

Pada tahun 2022, pendekatan ini mencapai babak baru melalui kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dan sejumlah negara donor. Dengan iming-iming pendanaan besar untuk dekarbonisasi, JETP menegaskan kembali arah kebijakan transisi energi harus berjalan lewat skema investasi swasta, pinjaman, dan jaminan risiko dari lembaga keuangan internasional. Paradigma “privatisasi untuk dekarbonisasi” pun semakin menguat, menyisakan pertanyaan besar, sejauh mana transisi ini benar-benar berpihak pada kepentingan publik?

JETP sering dipromosikan sebagai jalan keluar untuk mempercepat transisi energi. Namun, di balik narasi hijau yang dipoles rapi, terdapat serangkaian masalah mendasar. Menurut Jean, salah satu kelemahan mendasar JETP adalah target pengurangannya yang keliru: batu bara Indonesia sebagian besar bukan dikonsumsi di dalam negeri, melainkan diekspor ke luar negeri. Artinya, menurunkan kapasitas pembangkit domestik tidak serta-merta menurunkan produksi dan emisi batu bara secara keseluruhan. Emisi hanya “dipindahkan” ke negara lain, bukan dihentikan.

Selain itu, dana JETP sebagian besar berupa pinjaman berbunga, bukan hibah, dan sebagian diarahkan untuk proyek-proyek yang masih melibatkan bahan bakar fosil. Lebih jauh, pembiayaan JETP bersyarat pada reformasi pro-pasar yang mendorong liberalisasi sektor ketenagalistrikan dan memperluas ruang bagi swasta melanjutkan jejak reformasi neoliberal sejak krisis 1997.

Alih-alih menciptakan iklim investasi sehat, JETP justru berpotensi menjerat Indonesia dalam lingkaran utang eksternal baru. Dana publik—baik domestik maupun internasional—digunakan untuk membuat proyek energi terbarukan menjadi layak secara komersial, bukan untuk membangun kapasitas publik. Mekanismenya antara lain melalui Power Purchase Agreements (PPA) dan Viability Gap Funding (VGF) yang menjamin keuntungan swasta bahkan untuk proyek yang tidak layak secara ekonomi. Negara menanggung risiko, sementara keuntungan dinikmati korporasi.

Skenario Pasal 33: Jalan Keluar dari Jerat Privatisasi

Sebagai tandingan, tiga serikat pekerja ini mendorong Skenario Pasal 33—pendekatan transisi energi yang berbasis pada kepemilikan publik. Prinsip ini berangkat dari amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa cabang-cabang produksi penting harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam paparannya, Jean mengatakan, ada dua langkah strategis utama. Pertama, memperluas aset publik dan pendanaan negara, antara lain dengan: (1) Menaikkan pajak untuk kelompok kaya, mengingat rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih rendah. (2) Mengoptimalkan utang publik domestik (sovereign debt) yang berbunga rendah dan memberi kedaulatan kebijakan lebih besar. (3) Meninjau kembali batas defisit 3% PDB (warisan kebijakan IMF–World Bank) yang membatasi investasi publik. (4) Mengalihfungsikan bank-bank publik nasional untuk memperluas aset negara melalui public-public partnerships.

Selain itu, memulihkan peran Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai perusahaan utilitas publik terintegrasi: (1) PLN harus memimpin pembangunan kapasitas dan infrastruktur energi terbarukan. (2) Pemerintah harus mengakhiri ketergantungan pada investasi IPP dan memperluas peran PLN sebagai investor serta pengembang aset energi nasional. (3) Mengurangi ketergantungan pada PPA mahal dengan IPP agar PLN dapat mempertahankan pendapatan dan menahan tekanan kenaikan tarif listrik.

Selain itu, langkah lanjutan yang tak kalah penting adalah menghapus skema de-risking dan subsidi bagi IPP seperti VGF yang melemahkan kedaulatan pembiayaan negara. Menegaskan bahwa keputusan akhir investasi harus di tangan pemerintah dan PLN, bukan IPP. Kemudian, kita harus mengakhiri “mogok investasi” (investment strike) oleh IPP dengan membangun kapasitas publik yang mandiri.

Skenario Pasal 33 bukan utopia, melainkan jalan keluar nyata dari jebakan utang, ketimpangan, dan liberalisasi yang diwariskan sejak krisis 1997. Dengan membiayai transisi melalui dana publik dan mengembalikan kepemimpinan pada PLN, Indonesia dapat memastikan bahwa energi bersih bukan hanya tersedia, tetapi juga terjangkau, adil, dan dikendalikan oleh rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menutup acara ini, Indah Budiarti dari Public Services International (PSI) menegaskan pentingnya keterlibatan aktif serikat pekerja dalam proses transisi energi yang adil. Ia menyebut bahwa hal tersebut bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keniscayaan.

“Sebagai serikat pekerja di sektor publik, tanggung jawab kita tidak hanya untuk membela kepentingan anggota atau pekerja, tetapi juga untuk memastikan terpenuhinya kepentingan publik yang lebih luas dengan memastikan ketenagalistrikan tetap dalam penguasaan negara” ujarnya.

Indah menambahkan bahwa isu ketenagalistrikan menyangkut hak dasar masyarakat untuk mendapatkan akses energi yang terjangkau, andal, dan berkelanjutan. “Bicara tentang ketenagalistrikan berarti bicara tentang hajat hidup orang banyak. Maka, posisi dan peran serikat pekerja ketenagalistrikan menjadi sangat strategis,” lanjutnya.

Menurutnya, serikat pekerja harus memanfaatkan kekuatan kolektifnya untuk memastikan bahwa proses transisi tidak merugikan pekerja dan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas utama. Dengan demikian, perjuangan serikat pekerja dalam transisi energi menjadi bagian dari perjuangan memperkuat pelayanan publik.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Public Services International - Indonesia Project

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca