Skip to content Skip to footer

Hapus Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, SPEE FSPMI Tuntut Konvensi ILO 190 Diratifikasi

Sebanyak 45 buruh perempuan SPEE FSPMI yang berasal dari Serang, Bekasi, Purwakarta, Depok, Karawang, hingga Jakarta berkumpul di Hotel Metland Tambun dalam sebuah forum konsolidasi untuk menuntut agar Konvensi ILO No. 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja segera diratifikasi.

Pertemuan ini bukan sekadar sosialisasi, tetapi bagian dari upaya untuk menuntut agar pemerintah memenuhi kewajibannya melindungi pekerja, khususnya perempuan, dari berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, psikologis, ekonomi, hingga berbasis gender. Cerita-cerita tentang PHK sepihak, relokasi tidak manusiawi, hingga pelecehan yang dibiarkan tanpa proses, muncul dalam forum ini sebagai bukti nyata lemahnya perlindungan hukum yang ada saat ini.

Dalam sambutannya mewakili Public Services International (PSI), Indah Budiarti menegaskan, “Ratifikasi KILO 190 bukan soal prosedur internasional belaka. Ini adalah ukuran sejauh mana negara berpihak pada martabat dan keselamatan pekerja. Kita butuh keberanian politik dari pemerintah, dan kita akan terus menuntut hingga konvensi ini diratifikasi.”

Hapsari, Pengurus Pusat SPEE FSPMI, menjelaskan isi KILO 190 dan Rekomendasi 206 yang menyertainya. Konvensi ini tidak hanya relevan, tapi mendesak untuk diterapkan di sektor-sektor padat karya yang diisi mayoritas pekerja perempuan, seperti sektor kelistrikan dan elektronika. Ia menyoroti diskriminasi terhadap perempuan usia 40-an yang sering disingkirkan dari posisi kerja tanpa alasan objektif—bukti nyata bahwa kekerasan struktural dan diskriminatif masih dilegalkan dalam praktik ketenagakerjaan.

Kusuma Dewi dari Departemen Perempuan SPEE FSPMI menambahkan, meski Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), cakupannya belum cukup luas. KILO 190 memberikan perlindungan yang jauh lebih menyeluruh, mencakup lingkungan kerja formal dan informal, perjalanan ke tempat kerja, kegiatan sosial, bahkan ranah digital.

Sementara itu, Mundiah sebagai Wakil Presiden FSPMI Bidang Pemberdayaan Perempuan membagikan pengalaman nyata penanganan kasus kekerasan di tempat kerja, termasuk di PT HWI, sebuah pabrik sepatu di Jawa Tengah. Dalam kasus itu, pengurus serikat tampil sebagai pendamping korban, bukan hanya sebagai negosiator. Inisiatif seperti POSKO GBV, pelatihan pendamping, dan penyusunan ulang mekanisme pengaduan berbasis korban adalah langkah konkret yang dilakukan FSPMI untuk memperkuat perlindungan.

Forum ini menegaskan bahwa perjuangan melawan kekerasan di dunia kerja adalah tanggung jawab kolektif. Dibutuhkan konsolidasi lintas serikat, kolaborasi antar federasi global (GUFs), serta dorongan politik yang konsisten agar KILO 190 tidak sekadar menjadi wacana. Ratifikasi adalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. Tanpa ratifikasi, berbagai bentuk kekerasan akan terus berlangsung tanpa dasar hukum yang kuat untuk diberantas.

Sebagai tindak lanjut, para peserta merancang agenda kampanye edukatif melalui media cetak, spanduk, dan dialog dengan pemerintah daerah serta manajemen perusahaan. Ini adalah bagian dari strategi politik dan advokasi berkelanjutan yang digerakkan oleh serikat.

Dunia kerja harus menjadi ruang yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap pekerja berhak atas perlindungan, rasa aman, dan penghormatan terhadap hak dan martabatnya sebagai manusia. 

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Public Services International - Indonesia Project

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca