SP PLN Dorong Transisi Energi yang Adil dan Berkeadilan di NTT






Serikat Pekerja SP PLN (SP PLN) terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung transisi energi di Indonesia melalui kegiatan yang berjudul “Workshop Dissemination and Awareness Raising on Just Energy Transition” yang diadakan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, 21-22 Juli 2025, di kantor PLN UIW NTT. Workshop ini diikuti oleh 40 peserta, terdiri dari 15 peserta perempuan dan 25 peserta laki-laki yang berasal dari berbagai Dewan Pimpinan Daerah (DPD), seperti DPD UIW NTT, DPD UIW NTB, dan DPD UIP Nusra.
Kegiatan dibuka oleh Ketua DPD SP PLN UIW NTT, Bernilius Ria, yang menyampaikan pentingnya peningkatan kesadaran anggota terhadap makna dan dampak transisi energi, baik terhadap ketenagakerjaan maupun arah bisnis PLN ke depan. Ia menekankan bahwa serikat pekerja harus menjadi pilar penting dalam mengawal kebijakan energi yang adil dan berkelanjutan, terlebih karena manajemen memiliki batasan ruang gerak sebagai bagian dari institusi pemerintah.
General Manager PLN UIW NTT, F. Eko Sulistyono, menyampaikan bahwa SP PLN dan manajemen harus berjalan seiring dalam menghadapi tantangan energi ke depan. Ia menekankan bahwa PLN harus menjadi pemain utama dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT), bukan sekadar menjadi konsumen dari produsen swasta. Inisiatif SP PLN ini dinilai strategis dalam membangun kesadaran dan kapasitas pegawai agar siap menghadapi transisi energi secara cerdas dan adil.
Dukungan terhadap transisi energi juga disampaikan oleh Bendahara Umum SP PLN, Budi Setianto, yang menegaskan bahwa SP PLN mendorong pelaksanaan transisi energi yang adil (Just Energy Transition) dengan tiga prinsip utama: dimiliki negara (state ownership), terjangkau (affordable), dan aman (safe). Ia juga mengajak peserta untuk berpikir kritis, aktif berdiskusi, dan memperkuat posisi SP PLN sebagai mitra strategis dalam arah kebijakan nasional.
Dalam sharing session, Priyanto selaku Ketua Derpartemen Organisasi SP PLN memaparkan dinamika terbaru terkait organisasi dan tantangan yang dihadapi. Ia menyoroti struktur dan cakupan anggota SP PLN, berbagai isu seperti kontrak IPP, sistem power wheeling, dan berbagai isu lainnya yang sedang dihadapi oleh SP PLN.
Sesi ini juga menegaskan bahwa serikat pekerja harus proaktif dalam membaca arah perubahan kebijakan, memperkuat literasi energi di kalangan anggota, serta melakukan regenerasi kader secara berkelanjutan. Tantangan eksternal dan internal yang dihadapi membutuhkan respons kolektif dan adaptif, agar SP PLN tetap relevan dan berdaya tawar dalam memperjuangkan kepentingan anggota di tengah transformasi sektor ketenagalistrikan.
Isu perubahan iklim dan urgensi transisi energi dibahas dalam pemaparan Willy Balawala selaku Narasumber dari Solidarity Center, yang menjelaskan dasar ilmiah efek rumah kaca dan dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Ia menekankan bahwa transisi dari energi fosil ke energi bersih harus segera dilakukan untuk menekan emisi dan mengejar target Net Zero Emission, termasuk di Indonesia.
Diskusi juga menyinggung konsep Just Energy Transition dan peran Public Services International (PSI), federasi buruh global yang turut mendorong keadilan dalam proses transisi energi. SP PLN sebagai afiliasi PSI didorong untuk mengambil peran aktif dalam memastikan bahwa proses transisi tetap melindungi pekerja, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.
Diskusi-diskusi yang berlangsung menunjukkan semangat kritis dan kolaboratif dari para peserta, seperti dalam pembahasan soal PLTP di Flores yang menghadapi penolakan masyarakat, hingga pertanyaan terkait kebijakan gratifikasi dan pendanaan perjuangan serikat.
Pada hari kedua workshop, Bendahara Umum SP PLN, Budi Setianto, menyampaikan pemaparan bertajuk “Memperbarui Situasi Terkini Kelistrikan di Indonesia” yang mengangkat berbagai isu strategis sektor energi dan ketenagalistrikan nasional. Ia membuka sesi dengan memaparkan kondisi keuangan PT PLN (Persero) berdasarkan laporan resmi, menunjukkan bahwa tantangan beban keuangan perusahaan masih menjadi faktor penting yang harus diwaspadai dalam menyongsong transisi energi.
Budi juga menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 39/PUU-XXI/2023 yang mempertegas bahwa kelistrikan harus dikuasai oleh negara dan tidak dapat diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Ia menyebut putusan tersebut sebagai bentuk konkret dari arah baru kedaulatan energi nasional dalam kerangka Asta Citra Presiden terpilih, Prabowo Subianto, sekaligus menegaskan konsistensi sikap MK dalam menjaga amanat konstitusi terkait ketenagalistrikan.
Dalam pemaparannya, Budi mengkritisi kebijakan power wheeling sebagai skema yang dapat membuka jalan bagi liberalisasi sektor kelistrikan. Ia menyebut skema ini sebagai ancaman “mematikan” terhadap peran strategis PLN sebagai penyedia layanan publik, karena membuka peluang pihak swasta menggunakan jaringan PLN untuk kepentingan bisnis tanpa memperkuat fungsi negara sebagai pengendali sistem ketenagalistrikan.
Sesi ini juga menampilkan kertas posisi SP PLN terkait Just Energy Transition, yang mempresentasikan kertas posisi terbaru yang telah disusun bersama TUED dan PSI, sebagai langkah awal dalam menavigasi arah kebijakan energi nasional ke depan.
Dengan berpegang pada prinsip tersebut, SP PLN menegaskan komitmennya untuk berada di garis depan dalam perjuangan transisi energi yang demokratis, berkeadilan, dan berbasis pada public pathway.
JET Public Pathway adalah pendekatan terhadap transisi energi yang menempatkan kendali publik atas sistem energi sebagai prinsip utama. Ini bukan hanya soal mengganti sumber energi fosil dengan energi terbarukan, tetapi menyangkut siapa yang mengendalikan sumber daya energi, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana dampaknya terhadap pekerja dan masyarakat.
Pendekatan ini menolak logika privatisasi dan liberalisasi yang selama ini mendorong deregulasi, pemecahan institusi publik (unbundling), serta komersialisasi layanan listrik. Sebaliknya, JET Public Pathway menegaskan bahwa sistem energi harus: (1) Dimiliki dan dikelola oleh negara atau entitas publik, bukan diserahkan kepada perusahaan swasta atau investor asing. (2) Mengutamakan akses universal dan keterjangkauan harga, sebagai bentuk pelayanan publik, bukan sebagai komoditas pasar. (3) Menjamin perlindungan hak-hak pekerja melalui transisi yang terencana, inklusif, dan berbasis dialog sosial. (4) Mengutamakan keselamatan lingkungan dan masyarakat, dengan memastikan sistem energi yang berkelanjutan dan tidak menimbulkan kerusakan sosial-ekologis.
Entitas baru bernama DANANTARA yang juga dibawakan pada sesi ini merupakan sebuah badan yang dibentuk melalui UU no 01 tahun 2025 tentang perubahan atas UU no 19 tahun 2003 tentang BUMN. Ia menekankan bahwa keberadaan DANANTARA perlu terus dikawal agar tetap berpihak pada kepentingan nasional, dan tidak menjadi instrumen baru yang justru memperlemah posisi PLN atau meminggirkan peran pekerja.
Selama dua hari pelaksanaan, workshop ini memperkuat pemahaman peserta bahwa transisi energi bukan sekadar isu teknis, melainkan menyangkut kedaulatan energi, keadilan sosial, dan perlindungan hak-hak pekerja. Diskusi-diskusi yang berlangsung menegaskan pentingnya peran strategis SP PLN dalam mengawal arah kebijakan energi nasional, termasuk dalam mengkritisi liberalisasi sektor ketenagalistrikan dan memperjuangkan pendekatan transisi berbasis kepemilikan publik. Kolaborasi dengan PSI, penguatan posisi melalui kertas kebijakan bersama, serta pembangunan kader muda yang adaptif menjadi kunci agar serikat pekerja tetap relevan dan berdaya tawar. Peserta pun sepakat bahwa SP PLN harus terus hadir sebagai mitra kritis dan konstruktif, demi memastikan transisi energi berjalan adil, aman, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan publik.
