Serikat Pekerja Sektor Air Indonesia dan Filipina Perkuat Barisan Melawan Privatisasi




Di tengah meningkatnya tekanan privatisasi dan komersialisasi layanan publik, serikat pekerja sektor air dari Indonesia dan Filipina kembali menegaskan sikap bersama. Bahwa air adalah hak dasar, bukan komoditas. Komitmen ini mengemuka dalam Network Meeting of Water Unions in Indonesia&Philippines yang diselenggarakan pada 12 Desember 2025 di Hotel Yello Harmoni, Jakarta.
Pertemuan ini menjadi ruang strategis bagi serikat pekerja sektor air untuk berbagi pengalaman, memperkuat solidaritas lintas negara, serta menyusun langkah bersama dalam mempertahankan layanan air publik yang adil, terjangkau, dan berkualitas. Kegiatan ini mempertemukan Serikat Pekerja PDAM Jakarta dengan Alliance of Government Workers in the Water Sector (AGWWAS) Filipina, dengan fasilitasi Public Services International (PSI).
Dalam sambutan pembukaan, Ian Mariano selaku Sub-Regional Secretary PSI Asia Tenggara menegaskan bahwa sektor air merupakan jantung layanan publik. Ketika air diperlakukan sebagai komoditas, yang dikorbankan bukan hanya pekerja, tetapi juga hak masyarakat atas layanan dasar. Senada dengan itu, Luis Monje dari PSI menekankan pentingnya memperkuat kapasitas kepemimpinan serikat agar mampu merespons tantangan privatisasi yang bersifat lintas sektor dan lintas negara secara kolektif.
Sesi pertama menjadi panggung penting untuk membedah situasi aktual sektor air di masing-masing negara. Victor Chiong, Presiden Emeritus AGWWAS, memaparkan kondisi privatisasi air di Filipina yang telah meluas. Saat ini, lebih dari 70 kota dan distrik air di Filipina melakukan joint venture dengan pihak swasta. Salah satu implikasi paling nyata adalah pengurangan pekerja tetap, melemahnya keamanan kerja, dan tergerusnya kekuatan serikat untuk berserikat dan melakukan perjanjian kerja bersama.
Victor menjelaskan bahwa privatisasi membawa sejumlah dampak serius: serangan terhadap jaminan kerja pekerja dan keamanan serikat, pergeseran layanan air dari fungsi publik ke orientasi keuntungan, kenaikan tarif air yang tinggi, serta memburuknya kualitas air dan sanitasi. Kondisi ini diperparah oleh minimnya konsultasi publik sebelum kenaikan tarif diberlakukan, sehingga banyak keluarga miskin semakin sulit mengakses air bersih. Privatisasi, tegasnya, telah menjauhkan negara dari tanggung jawab sosialnya.
Dari Indonesia, Fachmi Islam, Sekretaris Jenderal SP PDAM Jakarta, memaparkan situasi pasca-remunisipalisasi layanan air di Jakarta. Meski pengelolaan air kembali ke tangan publik, ancaman baru muncul melalui wacana perubahan status Perumda menjadi Perseroda. Perubahan ini membuka peluang masuknya investasi swasta, potensi pengambilalihan aset strategis, dan risiko kenaikan tarif air.
Fachmi menyoroti bahwa harga air di Jakarta telah mengalami kenaikan signifikan hingga sekitar 60 persen. Ia mengingatkan bahwa perubahan status hukum BUMD bukan sekadar persoalan administratif, melainkan menyangkut arah pengelolaan air sebagai layanan publik. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, air ditegaskan sebagai hak publik yang harus berada di bawah kontrol penuh negara. Keterlibatan swasta hanya dimungkinkan secara terbatas, dengan syarat ketat, dan tidak boleh menghilangkan kewajiban negara maupun hak rakyat atas air.
Dalam konteks ini, rencana perubahan status PAM Jaya menjadi Perseroda dinilai bertentangan dengan prinsip konstitusi dan berpotensi mengancam hak rakyat atas air. Fachmi juga mengingatkan contoh konkret PT Jakarta International Expo (JIEXPO), yang setelah berubah menjadi Perseroda, mayoritas sahamnya dikuasai swasta hingga 86,88 persen, sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menyisakan 13,12 persen. Kasus ini menunjukkan bagaimana perubahan status BUMD dapat berujung pada hilangnya kendali pemerintah daerah atas aset strategis. Risiko serupa sangat mungkin menimpa PAM Jaya.
Diskusi berlanjut pada sesi kedua yang secara khusus membahas perjuangan mempertahankan hak-hak dasar berserikat. Victor Chiong menguraikan strategi AGWWAS dalam melawan pembatasan kebebasan berserikat di Filipina, mulai dari advokasi kebijakan hingga penguatan basis anggota. Sementara itu, Saroha Simanullang, Penasihat Hukum SP PDAM Jakarta, memaparkan berbagai tantangan hukum dan praktik hubungan industrial yang kerap tidak berpihak pada pekerja sektor air.
Pertemuan ini juga dihadiri perwakilan SP PDAM Tirta Intan Garut. Ketua SP PDAM Tirta Intan Garut, Gun Gun Gunari, menyampaikan apresiasi atas kesempatan berbagi pengalaman, khususnya pelajaran dari Filipina. Menurutnya, privatisasi di Filipina telah menghilangkan kendali negara atas layanan air, memicu kenaikan tarif yang tinggi, serta menimbulkan beban utang bagi pemerintah kota. Dampaknya paling berat dirasakan oleh warga miskin yang kesulitan membayar air, sehingga akses terhadap air bersih semakin timpang.
“Privatisasi ini dikritik karena memperburuk akses air bersih bagi sebagian penduduk, terutama yang miskin. Sehingga menghilangkan air sebagai layanan publik dan sebagai barang yang menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai negara,” ujar Gun Gun.
Isu akses universal terhadap air bersih menjadi fokus sesi ketiga. Arif Maulana dari YLBHI menegaskan bahwa air merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dipenuhi negara. Ia mengkritik kecenderungan negara menyerahkan pengelolaan air kepada mekanisme pasar, karena justru menjauhkan prinsip keadilan sosial dan mengubah air dari layanan publik menjadi komoditas ekonomi.
Diskusi ditutup dengan sesi keempat yang menekankan pentingnya kerja bersama dalam membangun solidaritas dan kapasitas serikat lintas negara. Peserta sepakat bahwa privatisasi sektor air merupakan tantangan global yang membutuhkan respons kolektif. Pertukaran pengalaman antara Indonesia dan Filipina menjadi modal penting untuk memperkuat kampanye anti-privatisasi dan memperluas jejaring advokasi di tingkat regional Asia Tenggara.
Pertemuan ini menegaskan bahwa serikat pekerja sektor air memiliki peran strategis dalam menjaga air tetap berada di jalur publik dan demokratis. Di tengah tekanan liberalisasi dan komersialisasi, solidaritas lintas negara menjadi kunci untuk mempertahankan air sebagai hak publik. Jakarta menjadi saksi bahwa perjuangan pekerja sektor air Indonesia dan Filipina tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan terhubung dalam satu barisan panjang melawan ketidakadilan struktural di sektor layanan publik.
