Skip to content Skip to footer

Menuju Transisi Energi yang Adil: Serikat Pekerja Dorong Jalur Publik Berdasarkan Pasal 33

Menghadapi tantangan besar dalam transisi energi di Indonesia, SP PLN, PP IP, dan SPNP kembali menegaskan posisi strategisnya melalui Workshop Transisi Energi yang Adil Jalur Publik yang diselenggarakan bersama Public Services International (PSI) dan Mondial FNV pada 23–24 Juni 2025 di Yello Hotel Harmoni, Jakarta.

Workshop ini merupakan kelanjutan dari upaya serikat pekerja ketenagalistrikan di Indonesia dalam membangun kerangka transisi energi yang tidak tunduk pada logika pasar neoliberal, melainkan berpijak pada prinsip keadilan sosial dan kedaulatan energi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.

Hari pertama dibuka dengan pemaparan perkembangan terkini sektor ketenagalistrikan oleh Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal PP-IP. Ia menyoroti tekanan privatisasi, pelemahan kontrol publik, dan lemahnya peran negara dalam pengambilan keputusan strategis sektor energi.

Sesi dilanjutkan dengan paparan dari Sean Sweeney, Direktur TUED (Trade Unions for Energy Democracy), yang menyoroti krisis transisi energi berbasis pasar di tingkat global dan bagaimana skema seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) justru memperkuat dominasi investor.

“JETP dirancang untuk menciptakan skema ‘de-risking’ bagi swasta. Tapi pertanyaannya, di mana posisi publik dalam skema ini? Kita butuh transisi energi yang berpihak pada rakyat, bukan pada pasar,” tegas Sean.


Dalam sesi ini, Sean juga menyampaikan garis besar kertas posisi bertajuk Skenario Pasal 33: Menuju Pendekatan Jalur Publik untuk Transisi yang Adil di Sektor Ketenagalistrikan Indonesia. Dimana pada bagian satu membahas terkait ekspansi, bukan transisi: realitas energi global dan regional, menyajikan ringkasan tren energi global, regional, dan nasional saat ini.

Bagian dua, Indonesia: Jangkauan Panjang Reformasi Energi Neoliberal dan Agenda “Privatisasi untuk Dekarbonisasi”, menempatkan paket-paket kebijakan yang diusulkan dalam konteks historis. Meskipun JETP, Mekanisme Transisi Energi dari Asian Development Bank (ADB-ETM), dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) memiliki karakteristik masing-masing, ketiganya berbagi pendekatan yang sama, sebuah pendekatan yang dapat ditelusuri kembali ke program penyesuaian struktural (SAP) Bank Dunia dan IMF pada dekade 1980-an dan 1990-an

Bagian tiga, Di Balik JETP: Krisis “Pertumbuhan Hijau” dan Kegagalan “Blended Finance” mengkaji kebutuhan investasi Indonesia dan melihat kebutuhan tersebut berdampingan dengan tren investasi terbaru.

Sementara itu, bagian empat: Skenario Pasal 33: Menuju Jalur Publik sebagai Alternatif menyajikan garis besar pendekatan “jalur publik” untuk transisi energi sebagaimana diterapkan di Indonesia.

Hari kedua diawali dengan diskusi kelompok. Peserta dibagi menjadi empat kelompok dan diminta membayangkan diri sebagai delegasi serikat pekerja yang akan bertemu pembuat kebijakan, dengan tantangan, bagaimana menjelaskan mengapa pendekatan transisi energi saat ini gagal, dan mengapa jalur publik berbasis Pasal 33 menjadi satu-satunya alternatif.

Simulasi diawali dengan membaca ulang narasi dari Sekretariat JETP yang menyebut Indonesia “kecanduan batu bara” dan menekankan bahwa demi menarik investasi energi terbarukan, subsidi batu bara harus dihapus, dan pemerintah harus menciptakan enabling environment bagi swasta.

Para peserta menanggapi dengan kritis. “Ini bukan sekadar soal sumber energi, tetapi siapa yang mengendalikan dan siapa yang diuntungkan. Energi adalah hak publik, bukan komoditas untuk diperdagangkan,” ujar salah satu peserta. Serikat menegaskan bahwa pendekatan jalur publik adalah satu-satunya jalan untuk menjamin transisi energi yang adil, demokratis, dan berpihak kepada rakyat.

Workshop hari kedua kemudian difokuskan pada pendalaman strategi. Dalam kesempatan ini, peserta menelaah argumentasi utama dalam kertas posisi serikat pekerja, termasuk kritik terhadap power wheeling, liberalisasi tarif, dan dominasi sistem Independent Power Producers (IPP). Serikat menegaskan perlunya menolak narasi bahwa energi terbarukan hanya bisa berkembang jika dikuasai swasta.

“Privatisasi dalam balutan energi hijau tetaplah privatisasi. Mogok investasi oleh sektor swasta dalam energi terbarukan menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik membangun sistem, tapi hanya ingin menjual proyek,” ungkap salah satu peserta. Diskusi juga menekankan perlunya menghapus skema de-risking, serta memperkuat kontrol negara dan retensi pendapatan dari pembangkitan energi.

Serikat juga menyoroti pentingnya peran lembaga keuangan domestik dan internasional, serta mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak tunduk pada tekanan donor dan lembaga multilateral. “Kita ingin Indonesia menjadi pelopor transisi yang adil secara global, bukan hanya pengekor kepentingan pasar dunia,” kata Sean.

Dalam kesempatan ini, Sean juga menyampaikan pernyataan penting yang menjadi penanda arah perjuangan serikat: “Listrik bukan sekadar aliran elektron yang menyalakan lampu atau menghidupkan mesin. Listrik adalah fondasi kehidupan modern—mengalir di rumah-rumah rakyat, sekolah-sekolah, pabrik, dan rumah sakit. Pertanyaannya: siapa yang mengendalikannya, dan untuk siapa?”


Ia menegaskan bahwa ketika listrik dikuasai oleh pasar, rakyat kehilangan kendali atas hak dasar mereka. “Listrik adalah soal hak asasi. Ini tentang martabat manusia—tentang akses yang adil, harga yang terjangkau, dan layanan publik yang layak. Jika kita ingin transisi energi yang adil, maka harus dimulai dari sistem energi yang publik dan demokratis,” tambahnya.

Sesi ini juga difokuskan pada penyusunan rencana aksi. Pendidikan anggota, pengorganisiran di akar rumput, serta mobilisasi publik menjadi kunci dalam memperkuat dukungan terhadap jalur publik.

“Serikat pekerja tidak boleh hanya menjadi korban dari perubahan. Kita harus menjadi aktor utama perubahan itu sendiri,” ujar seorang peserta. Strategi kolaboratif antar serikat, peningkatan kapasitas riset, dan kampanye komunikasi publik ditetapkan sebagai prioritas ke depan.

Sean menegaskan, “Kita sedang berada di persimpangan penting. Jika kita tidak segera memperjelas jalur publik, maka transisi energi akan menjadi ladang baru bagi pasar dan oligarki.” Ia menekankan pentingnya membangun kekuatan dari dalam serikat, sembari memperluas pengaruh di ruang kebijakan dan opini publik.

Langkah-langkah internal yang menjadi prioritas antara lain adalah pembentukan working group lintas serikat untuk fokus secara khusus pada agenda transisi energi. Kelompok kerja ini diharapkan dapat menyusun analisis, koordinasi kebijakan, dan strategi kampanye berbasis Pasal 33 UUD 1945.

Selain itu, peserta workshop sepakat untuk menyusun ulang atau memperkuat dokumen posisi terkait Pasal 33. “Dokumen ini harus mampu menjawab tantangan hari ini, bukan hanya mengulang retorika lama,” tegas salah satu perwakilan serikat. Revisi ini mencakup pembacaan ulang terhadap arah kebijakan energi pemerintah dan penegasan posisi serikat dalam menolak dominasi pendekatan berbasis pasar.

Untuk mendukung kampanye publik, serikat juga akan mengembangkan materi edukasi yang mudah dipahami dan dapat diakses oleh publik luas. Materi ini dirancang untuk menjelaskan dengan jelas apa itu jalur publik, mengapa pendekatan ini penting, dan bagaimana hal tersebut sesuai dengan amanat konstitusi.

Di level eksternal, serikat berencana merilis siaran pers menjelang COP30 sebagai bentuk pernyataan sikap internasional. “Kami ingin memastikan dunia tahu bahwa ada alternatif terhadap transisi energi berbasis utang dan investor,” ujar Sean.

Strategi eksternal lainnya adalah memperluas aliansi dengan organisasi sekutu baik di dalam negeri maupun secara global. Langkah ini penting untuk memperkuat tekanan kolektif terhadap model transisi berbasis privatisasi.

Tak kalah penting, serikat juga akan merumuskan tanggapan kritis terhadap dokumen RUPTL 2024–2033. Dokumen tersebut dinilai masih terlalu berpihak pada swasta dan belum memberikan ruang yang cukup bagi pendekatan jalur publik. Tanggapan ini akan disusun sebagai bagian dari strategi advokasi kebijakan yang lebih luas.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Public Services International - Indonesia Project

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca