Skip to content Skip to footer

Komitmen Serikat Pekerja dalam Memperjuangkan Just Energy Transition Public Pathway di Indonesia

Serikat-serikat pekerja sektor ketenagalistrikan dan industri lainnya berkumpul dalam sebuah forum penting, National Forum and Meeting on Just Energy Transition, pada hari Selasa tanggal 30 Oktober 2025. Bertempat di Hotel Vertu Harmoni, Jakarta, pertemuan ini diinisiasi oleh SP PLN, PP-IP, dan SPNP, dengan dukungan PSI, TUED, dan Mondiaal FNV. Beberapa serikat pekerja lain juga jadir, seperti KSPI, KSBSI, FSP Farkes R, SPEE, dan yang lain.

Agenda utamanya adalah untuk memperkuat perjuangan menjuju Transisi Energi yang Adil Jalur Publik (Just Energy Transition Public Pathway) sekaligus mengevaluasi posisi Indonesia dalam kemitraan pendanaan global, khususnya skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Lebih dari 60 perwakilan serikat hadir. Forum ini menjadi ruang strategis untuk bertukar pandangan, belajar dari pengalaman global, dan menyusun strategi bersama dalam menghadapi salah satu isu paling menentukan abad ini, transisi energi.

Forum ini juga memperkaya perspektif dengan menghadirkan pengalaman dari negara lain. Dari Bangladesh, Rahman Md Mozibor, Sekretaris Jenderal Paschimanchal Biddyut Bitaran Sramik Karmachari Union (PBBSKU), memaparkan bagaimana kebijakan energi terbarukan di negaranya dipengaruhi oleh kekuatan donor internasional. Ia menjelaskan bahwa serikat pekerja di Bangladesh berperan aktif mengawal agar transisi energi tidak sekadar menyingkirkan tenaga kerja, tetapi juga membuka ruang kerja baru yang layak.

Diskusi dan forum juga menyoroti Just Energy Transition Partnership (JETP), skema pendanaan transisi energi terbesar di dunia. Elrika Hamdi, Deputy JETP Secretariat, memaparkan perkembangan terkini. Ia menegaskan bahwa tujuan utama JETP adalah mencapai puncak emisi sektor kelistrikan pada 290 juta ton CO₂ di tahun 2030, sekaligus meningkatkan porsi energi terbarukan menjadi 34%. Total komitmen pendanaan mencapai USD 19,6 miliar, yang dialokasikan melalui enam area investasi, mulai dari pensiun dini PLTU batu bara, pengembangan energi terbarukan, hingga peningkatan efisiensi energi.

Namun demikian, serikat pekerja menilai bahwa JETP Indonesia bukanlah entitas independen atau perusahaan swasta, melainkan sebuah inisiatif kemitraan strategis yang melibatkan pemerintah Indonesia dan mitra internasional. Dari paparan yang disampaikan, hingga kini belum terlihat kemajuan signifikan dalam implementasi inisiatif tersebut.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri masih bersikap skeptis terhadap pendanaan JETP. Keraguan ini semakin menguat karena salah satu negara penggagas program, yaitu Amerika Serikat, justru pernah menarik diri dari perjanjian iklim internasional.

Sementara itu, Wilson Fortaleza, pegiat kebijakan energi sekaligus anggota Komite Eksekutif Partido Manggagawa di Filipina, menguraikan studi kasus negaranya. Ia menyoroti The Electric Power Industry Reform Act (EPIRA), undang-undang yang mendorong privatisasi sektor listrik. Menurut Fortaleza, pengalaman Filipina menunjukkan bahwa dominasi swasta dalam sektor energi justru membuat tarif listrik tidak terkendali.

“Pengalaman Filipina membuktikan satu hal,” ujar Fortaleza, “bahwa pendekatan jalur publik atau Public Pathway Approach mutlak diperlukan. Tanpa kendali publik, rakyatlah yang akan menanggung ongkos mahal transisi energi.”

Namun, bagi serikat pekerja, angka-angka tersebut hanyalah satu sisi dari persoalan. Fredrick B.G. Manurung, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), memberikan catatan kritis. Ia menekankan bahwa meski JETP dimaksudkan untuk mendukung transisi energi berkeadilan, ada risiko besar jika pembiayaan dilakukan dengan utang.

“Pertanyaan kuncinya adalah,” ujar Manurung, “apakah JETP benar-benar mendorong keadilan sosial, atau justru menciptakan beban baru bagi negara dengan utang untuk biaya transisi energi?”

Banyak peserta dari serikat pekerja mengangguk, menyadari bahwa transisi energi bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga menyangkut siapa yang menanggung biayanya dan siapa yang akan diuntungkan.

Dimensi internasional forum diperkuat dengan kehadiran Sean Sweeney, Koordinator TUED sekaligus Direktur International Program for Labour, Climate and Environment di CUNY. Ia memaparkan bahwa secara global, apa yang disebut transisi energi seringkali hanyalah “ekspansi, bukan transisi” (Expansion, Not Transition).

Sweeney mengkritik keras model blended finance yang mendominasi skema pendanaan global. Menurutnya, model ini justru memperbesar peran swasta dan memperlemah kendali publik.

Sebagai alternatif, ia menawarkan tiga proposal strategis yang terangkum dalam Skenario Pasal 33. Penguatan Aset dan Pendanaan Publik. Menggunakan instrumen utang dalam negeri yang berdaulat, meninjau kembali batas defisit 3% PDB, serta mengarahkan bank-bank negara untuk memperkuat investasi publik.

Mengembalikan Peran Sentral PLN. Menolak dominasi Independent Power Producers (IPP) dan memastikan PLN tetap menjadi pemain utama demi menjamin kepemilikan publik atas infrastruktur energi. Kemudian, mengembalikan perencanaan energi di bawah kepemimpinan PLN, mengadopsi sistem pengadaan langsung, sekaligus mendorong Indonesia menjadi advokat global untuk reformasi lembaga keuangan multilateral.

“Jika transisi energi hanya dibiarkan mengikuti logika pasar,” tegas Sweeney, “yang terjadi bukanlah keadilan, melainkan reproduksi ketidakadilan dalam bentuk baru.”

Di akhir sesi, Andy Wijaya, Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai PT PLN Indonesia Power (PP-IP) menegaskan bahwa transisi energi di Indonesia hanya akan adil jika berbasis pada investasi, kepemilikan, dan tata kelola publik.

“Transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi, kepemilikan, dan tata kelola sumber energi terbarukan yang kuat dari publik,” ujarnya.

Andy mengangkat sebuah dokumen penting: Kertas Kebijakan Alternatif Pasal 33 Serikat Pekerja. Dokumen ini secara eksplisit mengadvokasi agar energi terbarukan ditempatkan di bawah kontrol publik, sesuai amanat konstitusi. Dengan begitu, transisi energi tidak hanya efisien dan ramah lingkungan, tetapi juga terjangkau (affordable) dan bermanfaat optimal bagi rakyat.

Kertas kebijakan ini pada dasarnya adalah kontra-proposal terhadap model transisi berbasis swasta. Serikat pekerja meyakini bahwa jika dikelola publik, energi terbarukan dapat benar-benar menjadi instrumen pembangunan nasional, bukan sekadar ladang bisnis.

Forum ini kemudian ditutup dengan komitmen bersama. Serikat pekerja menyepakati pentingnya membangun jaringan nasional untuk memperkuat kampanye mereka.

Pesan forum ini sangat jelas. Transisi energi di Indonesia harus berjalan sesuai amanat konstitusi, berkeadilan sosial, berbasis investasi publik, terjangkau bagi rakyat, serta aman bagi lingkungan.

Sebagaimana dirumuskan dalam Kertas Kebijakan Pasal 33, jalan publik dianggap satu-satunya cara untuk memastikan transisi energi tidak menjelma sebagai bentuk ketidakadilan baru.

Pertemuan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari rangkaian panjang perjuangan serikat pekerja di Indonesia. Diskusi-diskusi yang digelar menunjukkan bahwa transisi energi bukan isu teknis semata, melainkan arena pertarungan politik dan ekonomi.

Di satu sisi, ada dorongan kuat dari lembaga internasional dan swasta untuk menguasai pangsa energi baru. Di sisi lain, serikat pekerja bersama masyarakat sipil berusaha memastikan energi tetap berada dalam kerangka konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Kami bukan menolak transisi energi. Kami justru menginginkan transisi yang adil. Adil bagi pekerja, adil bagi rakyat, dan adil bagi masa depan negeri ini.”

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Public Services International - Indonesia Project

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca